Home / Uncategorized / Sejarah Desa Bunulrejo Kota Malang Berdasarkan Tinjauan Prasasti Kanuruhan | Karang Taruna Setya Karya Kelurahan Bunulrejo

Sejarah Desa Bunulrejo Kota Malang Berdasarkan Tinjauan Prasasti Kanuruhan | Karang Taruna Setya Karya Kelurahan Bunulrejo

Bunul-03Prasasti Kanuruhan di balik arca Ganesya dari Bunulrejo (Foto-foto: Dok. Pribadi)


Abstrak

Kelurahan Bunulrejo adalah salah satu wilayah kelurahan di Kecamatan Blimbing Kota Malang. Terbentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah no.15 tahun 1987. Sebelum itu nama yang dikenal adalah ‘Bunul’. Menurut Perda Kotamadya Malang no.4 tahun 1967, Desa Bunul masuk dalam Lingkungan VI Kecamatan Blimbing. Pada zaman Belanda, Desa Bunul menjadi wilayah Asisten Wedana Blimbing menurut ketetapan Gemeenteblad no.108 tahun 1937. Sejarah desa Bunul dapat diketahui berdasarkan data-data sejarah dan arkeologis yang ada di dalamnya.

Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan sejarah (historical approach), yaitu untuk  mengetahui sejarah desa Bunulrejo di masa lampau. Dari hasil analisa diketahui bahwa Bulul berasal dari nama seorang pemuda Jawa Kuna yang hidup pada kurun abad X M dan bertempat tinggal di desa tersebut. Desa tersebut oleh raja dianugerahkan kepada Bulul, ditandai peresmian pada prasasti batu yang berbentuk arca Ganesya. Peresmian dilakukan hari Minggu, 4 Januari 935 M pukul 12.00. yang secara formal sejak tanggal itu, Bulul berhak atas desa tersebut.

Kata kunci: Sejarah, Desa Bunulrejo, Prasasti Kanuruhan.


Abstract

Bunulrejo is one of the urban villages in Blimbing district, Malang City. Based on government regulation number 15 of 1987, this village was formerly known as “Bunul”. According to the municipal regulation number 4 of 1967, Bunul village is listed as the environmental area VI of Blimbing district. Furthermore, Gementeblad regulation number 108 of 1937 stipulated that Bunul is the area of Assistant Wedana Blimbing during the Dutch era. Therefore, the history of Bunul village can be known from the historical and archaeological data in it.

The approach used in this research is historical approach in order to figure out the history of Bunulrejo village in the past. From the analysis it is known that the world “Bulul” is taken from the name of ancient Javanese young man who lived in that particular area in the tenth century AD. The area is than conferred by the king to Bulul which is marked on the Ganesya stone inscription. The inauguration was held on Sunday, 4th of January 935 AD at 12.00 which officially from that date Bulul entitled to the village.

Keywords: History, Bunulrejo village, Kanuruhan inscription,


PENDAHULUAN

Desa Bunul atau yang sekarang lebih dikenal sebagai Kelurahan Bunulrejo Kecamatan Blimbing Kota Malang, secara administratif terbentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah no.15 tahun 1987. Adapun nama Bunulrejo sendiri baru ditetapkan pada tahun 1981 berdasarkan Perda Kotamadya Malang. Sebelum itu nama yang dikenal adalah ‘Bunul’. Menurut Perda Kotamadya Malang no.4 tahun 1967, Desa Bunul masuk dalam Lingkungan VI kecamatan Blimbing (Suwardono dan Rusmiayah, 1996). Yang dimaksud dengan lingkungan adalah kesatuan wilayah setingkat dengan desa besar yang secara administratif membawahi desa-desa kecil. Lingkungan dikepalai oleh ‘kepala lingkungan’ yang sejajar dengan kepala desa. Untuk Lingkungan VI Kecamatan Blimbing, membawahi desa Lowokwaru, Purwantoro, dan Bunulrejo (Suwardono dan Rusmiayah, 1996).

Sebelum itu, Desa Bunul menjadi wilayah Asisten Wedana (kecamatan) Blimbing menurut ketetapan Gemeenteblad no.108 tahun 1937, dan kondisi demikian diteruskan sampai adanya perombakan nama-nama desa yang diatur dalam Perda Kotamadya Malang tahun 1981, dilanjutkan adanya perubahan wilayah dalam PP no.15 tahun 1987 seperti yang tersebut di atas hingga sekarang. Pada zaman kolonial Belanda, nama-nama dukuh (kampung kecil) yang terdapat di Desa Bunul menurut peta Gemeente Malang tahun 1923 adalah: Rampal, Bunul lor, Bunul kulon, Ngujil, Ngujil wetan, Bunul, dan Bunul wetan.

Bunul-01

Peta Kelurahan Bunulrejo dan Asal Arca Ganesya 

Demikianlah secara singkat terbentuknya Kelurahan Bunulrejo yang sekarang ini, yang secara administratif dapat dikatakan bahwa pemerintahan desa dapat dilacak/dimulai pada masa pemerintahan Hindia Belanda (kolonial). Yang menarik perhatian dari desa Bunul tersebut adalah ‘nama’ desa itu sendiri, yaitu Bunul. Akan sia-sia apabila mensejajarkan nama ini dengan nama-nama tempat yang ada di daerah Malang yang kebanyakan berasal dari nama pohon (seperti Celaket, Rampal, Lowokwaru, Jatimulyo, Kasin, Bareng, Gading Kasri, dan sebagainya) atau kondisi alam setempat (seperti Kauman, Talun, Mergan, Merjosari, Dinoyo, Jenggrik, Bioro, Guyangan, Tlogomas, Tulusrejo, Bantaran, dan sebagainya). Sementara nama Bunul tidak termasuk dalam dua kategori nama tersebut di atas.

Dengan demikian tentunya ada sesuatu peristiwa yang menempatkan daerah ini bernama ‘Bunul’. Bagaimanakah dapat diketahui tentang masa lampau dari Desa Bunulrejo ini, kemungkinan dapat dilacak berdasarkan data-data yang ada di dalamnya. Karena sejarah asal usul desa pada umumnya dapat digali melalui  tinggalan arkeologis dan  folklor atau cerita rakyat. Beruntung di daerah Bunulrejo masih dapat ditelusuri adanya peninggalan-peninggalan pada masa lampau sejak zaman Hindu Budha dan Islam (Mataram Islam). Untuk mencari asal-usul desa, pada umumnya dicari pendekatan dengan cerita dari mulut ke mulut tentang tokoh ‘bedah krawang’ atau yang membuka perkampungan pertama kali (Soedjono, 1981).

Sumber data yang digunakan dalam penulisan ini adalah:

Data di lapangan berupa artefak arca Ganesya yang di belakang sandarannya terdapat prasasti, serta indikasi Situs Telaga. Sumber informasi di lapangan (keterangan penduduk setempat berupa kesaksian adanya situs dan cerita rakyat), serta referensi yang mendukung.


METODE

Mengingat obyek kajian berhubungan dengan kontinuitas historis, maka digunakan pendekatan sejarah (historical approach), yaitu untuk  mengetahui sejarah desa Bunulrejo di masa lampau. Adapun langkah-langkah dari metode penelitian sejarah sendiri bertumpu kepada empat kegiatan pokok, yaitu: 1) Heuristik; pengumpulan objek yang berasal dari zaman yang bersangkutan dan pengumpulan bahan-bahan tercetak, tertulis dan lisan yang boleh jadi relevan untuk disusun dalam bentuk sejarah sebagai kisah, 2) Kritik; menyingkirkan bahan-bahan (atau bagian-bagian dari padanya) yang tidak otentik.

Kegiatan ini meneliti apakah sumber-sumber itu asli baik bentuk maupun isinya. Dengan membagi menjadi kritik intern dan ekstern dalam melakukan pemilihan dan penentuan terhadap sumber sejarah yang diperlukan, 3) Interpretasi; menyimpulkan kesaksian yang dapat dipercaya mengenai bahan-bahan yang otentik. Di sini kegiatan menetapkan makna yang saling berhubungan dari fakta-fakta yang diperoleh, setelah fakta-fakta itu dibuktikan kebenarannya, 4) Historiografi; penyampaian sintesa yang diperoleh dalam bentuk suatu kisah sejarah yang berarti (Notosusanto, 1976:35-43; 1986:18).


PAPARAN DATA

a. Situs Bekas Telaga

Di  Kelurahan Bunulrejo terdapat sebuah kampung kecil bernama ‘Beji’. Letaknya berada di sebelah timur kantor Kelurahan Bunulrejo. Kampung tersebut hanya dihuni sekitar 6 rumah, yang salah satunya adalah berupa ‘Gereja Kristen Advent’. Karena kampung tersebut berpenghuni sedikit dan tidak terdapat akses jalan tembus, maka dinamakan kampung ‘Beji Gang Buntu’. Dalam bahasa Jawa, kata ‘Beji’ berarti telaga (Poerwadarminta, tanpa tahun; Mardiwarsito, 1986; Zoetmulder, 2004).

Di bawah bangunan gereja tersebut, menurut keterangan penduduk setempat bahwa di bawahnya terdapat bekas telaga berukuran 12 m² yang sisi-sisinya dibatasi dengan dinding bata merah tebal, dengan pancuran-pancuran (dwarajala) di sekelilingnya guna mengalirkan airnya yang didapat dari sumber bawah tanah (artesis). Penduduk setempat menamakannya ‘sumur gumuling’. Ditimbunnya lahan situs telaga tersebut karena pertimbangan kepentingan tempat tinggal, apalagi pada waktu itu perhatian pihak pemerintah daerah terhadap bangunan-bangunan purbakala belum serius penangannya. Informasi yang diperoleh dari pemilik tanah bahwa sekitar tahun 1960-an, lahan situs telaga tersebut diurug dengan tanah urug bermeter-meter kubik oleh pemilik tanah,  sehingga rata dengan lingkungan kanan kirinya.

b. Arca Ganesya

Di sisi telaga, dahulu terdapat sebuah arca dewa Hindu yang berkepala gajah,
yaitu Ganesya. Ukuran arca Ganesya tersebut P: 101.5, L: 74, dan Tg: 109.5. duduk di atas bantalan motif bunga teratai ganda. Setengah bagian dada ke atas hilang. Tangan empat (caturbhuja). Tangan kanan belakang patah. Tiga tangan lainnya bagian tekapak tangan hilang, sehingga tidak diketahui laksana apa yang dibawa. Arca ini ketika didapati pertama kali pada zaman Belanda memang sudah rusak. Kerusakan antara lain pada bagian atas, yaitu bahu hingga kepala hilang. Potongan kepala arca tersebut hingga kini belum ditemukan. Diduga potongan tersebut memang sengaja dihancurkan berkeping-keping dan kemudian dimasukkan ke dalam telaga. Menurut keterangan Bapak Dasir sebagai pemilik tanah, dari cerita leluhurnya sejak arca tersebut ditemukan kondisinya sudah tanpa kepala.

Pada tahun 1978 oleh Bapak Djoko Rihadi selaku Kepala Seksi Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kotamadya Malang waktu itu, arca Ganesya tersebut diangkat untuk dipindahkan ke kantor DPU Kotamadya Malang di Jl. Halmahera. Tahun 1991 arca Ganesya beserta dengan arca yang lain dipindah lagi ke Taman Senaputra Malang. Baru tahun 2003 ditempatkan di Balai Penyelamatan Benda Cagar Budaya ‘Pu Purwa’ Kota Malang hingga sekarang.

Bunul-02Arca Ganesya dari Bunulrejo

c. Prasasti

Di balik sandaran arca Ganesya terdapat beberapa baris inskripsi yang merupakan sebuah prasasti berkenaan dengan daerah tempat arca Ganesya semula berada, yaitu kawasan ‘Beji’ Bunulrejo. Prasasti Kanuruhan pernah dibaca oleh Boechori dan tercantum dalam disertasi Edi Sedyawati (Sedyawati, 1994). Sepanjang yang dapat dibaca pada prasasti ‘Kanuruhan’ yang berbahasa Jawa Kuna dan berhuruf Jawa Kuna tersebut bahwa pada tahun 856 saka bulan Posya wuku Wukir (bulan ‘posya’ tersebut menurut pembacaan Damais tahun 1950an, tetapi sewaktu Boechari membaca di tahun 1970an, huruf ‘pa’ untuk kata ‘Posya’ sudah hilang, hingga sekarang yang terbaca hanya angka tahunnya saja, (sementara penanggalan hari pasarannya hilang karena batunya pecah). Rakryan Kanuruhan Dyah Mungpang memberikan hadiah sebagian tanah di wanua/desa……. (nama desa tidak terbaca, hanya kata akhir yang tersisa, yaitu: ‘tan’) yang masuk wilayah Kanuruhan, kepada penduduk desa (anak wanua) bernama ‘Bulul’ atas jasa-jasanya terhadap desanya.

Jasa Bulul tersebut diduga berhubungan dengan keamanan wilayah desa, serta perhatian dan kecintaannya terhadap alam lingkungan, serta patriotisme yang tinggi. Dalam merealisasikan kecintaan dan kepedulian terhadap alam lingkungan, Bulul membuat sebuah telaga yang indah yang lengkap dengan taman bunganya. Atas perhatian dan kepedulian Bulul terhadap lingkungan tersebut, akhirnya penguasa/raja wilayah daerah Kanuruhan, memberikan hadiah tanah perdikan sebagai anugerah atas jasa-jasa Bulul (Sumadio. Ed, 2008) :

Bunul-04

Salinan prasasti Kanuruhan 

Transkrip Prasasti Kanuruhan (menurut bacaan penulis yang sudah dikonfirmasi dengan bacaan Boechari), adalah seperti berikut:

  1. lup ma ………………………………………………………………………………………………………….
  2. 1 ma 4 kinabehanira mańkana krama ni ……………………………………………………………
  3. l (konsonan: la mati) . kunaŋ asiŋ sumbikāra ikanaŋ lmah pańadganikaŋ ya sa guni (weh) ………..
  4. muaŋ pañcamahāpātaka tmunya //0// swasti śaka warşatita 856 …………………………..
  5. ra wukir irikā diwaśa rakryan kanuruhan arthahetoh dyah muńpaŋ umanugraha ………………….
  6. tan watak kanuruhan paknanya de saŋ bulul tanammana puspa dala mula kambaŋ. rowańa nikanaŋ ya śa pa….
  7. na ista prayojana saŋ bulul irikaŋ lmah yatika sinanma ta de rakryan kanuruhan inimbuh ri ha …..
  8. akan mas su 1 ma 8 wdihan yu 1 i rakryan. juru i kanuruhan irikaŋ kala juru kanayakan kalih saŋ hadyan rawaŋ saŋ ha
  9. dyan panbasan parujar saŋ hadyan wuńkal kiluŋ tuhā ni wadwa rare kalih dyah gayana saŋ ganam tuhā niŋ kalula saŋ hijo. Tuhā niŋ ma
  1. ndakat dyah slur amasańnakan dyah awik sukreta momahumah saŋ kawańyan pārtha winaih mas su 1 ma 4 kinabehanira (pa)
  2. tih rikaŋ kāla patih pamgat saŋ hiranya maŋhambin saŋ prakasita. patih kawańyan saŋ prathama juru banua kālih saŋ jańgala saŋ (pra)
  3. gaŋ pańuraŋ saŋ cinta wrenaŋ saŋ bāta gusti saŋ bohuńtas maniga bapa ni brati panulisan saŋ keśawa pańaruan si
  4. basura apkan saŋ wulakan juru bwatoh si milaŋ. wahuta wuńkal raya bapa ri buluńuh pakambańan buluńuh pa
  5. tih panbahan si pandul parujar i pakaraņān si waluyan wayuh i kawańyan si gumul wineh mas su 1 ma 8 ki
  6. nabehannira maka dalā pagêhan ikanaŋ lmah anugraha rakryan kanuruhan i saŋ bulul tkā i dlāha niŋ dlāha  kunaŋ asiŋ umulahu
  7. lah ikanaŋ lmah anugraha rakryan kanuruhan i saŋ bulul salwirniŋ mahāpātaka pańguhannya sapasuk wanwa
  8. labuh juru kalula saŋ padma //0//

Terjemahan (menurut penulis):

  1. ………
  2. 1 suwarna 4 masa masing-masing. seperti itulah peraturan dari…
  3. selanjutnya barang siapa berusaha mengubah ketetapan sebidang tanah yang telah dikukuhkan kepada siapapun lebih-lebih…..
  4. dan mendapati lima macam dosa besar*//0// Selamat tahun saka telah berjalan 856 ….
  5. ra wukir, pada waktu itulah rakryan kanuruhan bernama* dyah mungpang memberi anugerah…..
  6. tan wilayah kanuruhan diperuntukkan bagi sang bulul guna menanam bunga-bunga sebagai taman bunga, diiring oleh siapapun…..
  7. (sebab) maksud dari tujuan sang Bulul terhadap sebidang tanah itulah yang membuat rakryan kanuruhan menambahinya…..
  8. (diberikan) mas 1 suwarna 8 masa dan wdihan 1 yugala kepada rakryan. juru di kanuruhan pada waktu itu juru kanayakan dua (orang) sang hadyan rawang sang ha
  9. dyan panbasan. juru bicara sang hadyan wungkal kilung, pemimpin prajurit dua (orang yaitu) dyah gayana dan sang ganam. pemimpin para abdi istana sang hijo. pemimpin
  10. penari topeng dyah slur. pejabat protokol dyah awik sukreta. momahumah sang kawangyan (bernama) partha diberi mas 1 suwarna 4 masa masing-masing
  11. patih pada waktu itu patih pamgat (bernama) sang hiranya. pengurus pakaian istana sang prakasita. patih kawangyan sang prathama. pejabat pengurus desa dua (orang yaitu) sang janggala dan sang pra
  12. gang. petugas pemungut pajak sang cinta. wrenang sang bata. gusti sang bohungtas, maniga ayahnya brati, juru tulis sang kesawa, pangaruhan si
  13. basura, petugas pasar sang wulakan, juru bwatoh si milang, wahuta wungkal raya bapak dari bulunguh taman bunga bulunguh
  14. patih panbahan si pandul, juru bicara di tempat si waluyan, wayuh (dari) kawangyan si gumul diberi mas 1 suwarna 8 masa
  15. masing-masing, demikian itulah ketetapan sebidang tanah yang dianugerahkan dari rakryan kanuruhan kepada sang bulul sampai akhir zaman, adapun barang siapa melanggar
  16. ketetapan tanah anugerah rakryan kanuruhan kepada sang bulul ini, akan mendapati segala macam dosa besar di dalam wilayah desa.
  17. yang mengakhiri, pemimpin para abdi istana (bernama) sang padma//0// .


Catatan:

*    Pancamahapataka: melakukan 5 macam dosa besar, yaitu:

  1. membunuh seorang brahmana
  2. melakukan lamwukanya
  3. durhaka kepada guru
  4. membunuh janin
  5. berteman dengan ke 4 pelaku di atas (Stutteirheim, 1927; Nastiti dkk, 1982).
  • Lamwukanya arti harfiahnya adalah ‘lembu perawan‘. Diduga adalah sebutan untuk ‘lembu perempuan yang masih muda, yang belum dikawin oleh lembu jantan‘. Argumentasinya bahwa hewan lembu dalam upacara penetapan sima disebut-sebut dalam prasasti seperti prasasti Gulung-gulung dan prasasti Jeru-jeru sebagai sosok yang diagungkan, dalam upacara penetapan sima disebut sebagai ‘sang hyang Lambu/Lamwu‘. Penyebutannya setelah ‘sang hyang Brahma‘, baru setelah itu ‘sang hyang Susuk‘, sehingga kedudukan lembu di sini sangat istimewa. Mungkin yang dimaksud ‘melakukan lamwukanya‘ adalah melakukan pembunuhan atau mempekerjakan lembu perempuan yang masih muda, yang memang disakralkan masyarakat Jawa Kuna waktu itu.

*    Terjemahan ‘arthahetoh=bernama’ mengikuti Titi Surti Nastiti dalam prasasti Sobhamerta 939 M (Puslitbang arkenas, 2007). Boechari dalam pembacaan prasasti Wurudu kidul I dan II 922 M (Boechori dan Wibowo, 1985/1986), prasasti Hering 934M (Brandes, 1913), dan prasasti Hara-hara 966 M (Brandes, 1913 ; Soemadio, 1984).

Ukuran mas:

  • 1 suwarna emas = 0,038601 kg
  • 1 masa emas = 0,002412 kg (Stutteirheim, 1940).

Ukuran dan satuan kain:

Dalam beberapa prasasti diasanya dibedakan antara ‘wdihan’ untuk laki-laki dan ‘ken’ untuk perempuan. Satuan yang dipakai untuk wdihan adalah ‘yugala’ disingkat ‘yu’ yang berarti satu stel atau sepasang, namun tidak selalu sepasang, kadang-kadang diberikan hanya sehelai. Sedangkan untuk kain dipakai satuan ‘wlah’ atau ‘hlai’ yang berarti helai (Nastiti dkk, 1982).

d. Cerita Rakyat

Cerita rakyat yang didapat dari penduduk setempat sekitar situs telaga, terutama keluarga pemilik tanah, berkenaan dengan sosok arca Ganesya, yang oleh mereka disebut sebagai penjelmaan ‘maling aguno’ yang dikutuk oleh seorang ‘wali’ menjadi arca batu. Cerita secara turun temurun mengatakan bahwa di Bunulrejo tersebut dahulunya bukanlah suatu tempat yang aman. Ketidak tenteraman wilayah Bunul disebabkan adanya sosok ‘maling aguno’, yaitu seorang pencuri yang sangat sakti, sehingga membuat penduduk Bunulrejo selalu ketakutan, apalagi ketika melewati jalan di tepi desa pada siang hari. Pada malam hari ketakutan penduduk semakin mencekam.

Pada suatu ketika datanglah di tempat tersebut seorang wali, dan pada akhirnya dapat menundukkan kesaktian ‘maling aguno’, yang ternyata tidak hanya seorang, tetapi dua orang bersaudara, yaitu laki-laki dan perempuan. Dalam suatu perkelahian adu kesaktian ternyata ‘maling aguno’ kalah. Kalahnya ‘maling aguno’ karena dipanah oleh sang wali. Dipanah satu anak panah dan mengenai keduanya. ‘Maling aguno’ tersebut akhirnya tewas berhimpitan, dan seketika itu menjadi batu.


PEMBAHASAN

a. Tinjauan Sejarah Desa Bunul

Awal terbentuknya nama desa Bunul dapat ditarik ke suatu masa lampau sekitar abad X M. Dasar penetapan secara otentik adalah bunyi prasasti Kanuruhan yang berangka tahun 856 saka. Pada masa itu penguasa kerajaan di Jawa adalah raja Sindok dari Kerajaan Medang yang sudah berpindah ke Jawa Timur. Namun demikian di Jawa Timur banyak penguasa-penguasa lokal dalam bentuk ‘watak’ yang setara dengan ‘adipati’ zaman kerajaan Mataram Islam. Salah satu penguasa lokal di Malang waktu itu adalah Rakryan Kanuruhan (penguasa daerah Kanuruhan).

Pada saat itu di sebuah wanua/desa yang bernama wanua (…. tan), nama wanua/desa ini tidak terbaca karena batu bagian kanan putus. Pada sisi kiri pada awal baris kalimat terbaca ‘tan watak kanuruhan’, yang secara lengkap tentunya berbunyi ‘wanua … tan watak kanuruhan’ yang artinya desa …tan wilayah Kanuruhan. Di dalam prasasti Sangguran (928M), terdapat sebuah wanua/desa tepi siring (desa di sekitar/desa tetangga) yang ikut menjadi saksi pada waktu prasasti Sangguran diresmikan. Wanua/desa tersebut bernama ‘Kajatan’ (Brandes, 1913). Karena wanua Sangguran watak Waharu lokasinya dekat dengan  wilayah Kanuruhan. Wanua Kajatan watak Kanuruhan ini ikut menjadi saksi, termasuk orang Tugaran, Tampuran yang berada di luar watak Waharu pun ikut menjadi saksi. Dengan demikian kemungkinan dapat diduga bahwa ‘wanua …tan watak kanuruhan’ yang tertulis di dalam prasasti Kanuruhan itu sama dengan ‘wanua kajatan’ yang tercantum di dalam prasasti Sangguran.

Disebutkan bahwa ada seorang yang bernama ‘Bulul’, yang memiliki kelebihan dibanding dengan pemuda desa lainnya. Pada suatu ketika desa ‘Kajatan’ dilanda kerusuhan (rupa-rupanya kondisi ini secara turun temurun tetap diingat oleh penduduk Bunul, terbukti muncul tradisi lisan tentang sosok ‘maling aguno’). Zaman Jawa kuna dahulu yang namanya pencurian, perampokan, sampai pembunuhan sudah umum dan merajalela. Tentunya kita ingat terhadap prasasti Balingawan tahun 891 M, yang menyebutkan bahwa diterbitkannya prasasti Balingawan disebabkan karena di daerah Balingawan banyak terjadi pembunuhan gelap (Brandes, 1913; Museum Nasional Indonesia, 2016). Secara geografis desa Balingawan (Mangliawan sekarang) dengan desa Bunulrejo hanya merupakan desa tetangga yang tidak begitu jauh. Oleh karena itu penguasa kerajaan selalu tanggap dengan dibuatnya undang-undang pencegahannya berupa hukuman atau denda. Namun yang agak menyusahkan penduduk adalah hukuman kepada penduduk desa yang pekarangannya kedapatan sosok mayat akibat pembunuhan dan perampokan, seperti yang tersebut di dalam prasasti Balingawan. Justru yang kena denda adalah pemilik pekarangan di mana mayat itu ditemukan.

Diduga nazar yang dilakukan oleh pemuda Bulul berkenaan dengan situasi dan kondisi daerahnya waktu itu, dan apabila lingkungan desanya itu menjadi aman, maka ia hendak membangun sebuah taman telaga yang di sekitarnya dihias dengan taman bunga-bungaan, sehingga tampak asri. Dalam usaha ikut serta mengamankan desanya ternyata berhasil. Dari sebab itulah Bulul melaksanakan nazar yang pernah diniatkan itu.

Harapan dan keinginan Bulul rupanya terdengar pula sampai ke Kerajaan Kanuruhan, bahkan kerajaan Medang. Sri Maharaja Pu Sindok demi mendengar usaha yang dilakukan oleh Bulul, segera memerintahkan kepada raja di Kanuruhan yang menjadi penguasanya, yaitu Rakryan Kanuruhan Dyah Mungpang, untuk segera menindaklanjuti karya Bulul tersebut. Demikianlah atas nama raja kerajaan Medang, Rakryan Kanuruhan Dyah Mungpang memanggil Bulul untuk mendapat penghormatan dan imbalan atas usahanya, bahkan dalam pelaksanaan pemberian hadiah, Rakryan Kanuruhan menambahi anugerah dengan ditetapkannya desa Kajatan menjadi kekuasaan Bulul hingga akhir zaman.

Peresmian taman telaga beserta taman bunganya itu ditetapkan pada tahun 856 saka minggu Wukir bulan Po.. (sayang unsur penanggalannya tidak diketahui karena hilang terpotong). Pembacaan ini atas dasar pembacaan Damais (Damais, 1955). Dari apa yang didapat menurut perhitungan manual yang dilakukan oleh Damais, sebagai berikut:

Dalam prasasti hanya tertinggal penanggalan yang dapat dibaca yaitu 856 (Po….) …….. ra wukir. Yang oleh Damais dibaca 856 Posya ………………… wara Wukir.

Bulan Posya th 856 saka (934 M), tanggal 1 suklapaksa yang ekuivalen dengan tanggal 9 Desember 934 M, dan berakhir tanggal 15 kresnapaksa 856 saka yang ekuivalen dengan tanggal 7 Januari 935 M. Dalam keterangannya pula Damais menentukan bahwa  wuku ‘Wukir’ (7 hari) pada bulan Posya tahun 856 saka atau 935 M, hanya memiliki 4 hari, yaitu:

  • WU U A (Wurukung Umanis Aditya) yang jatuh tanggal 4 Januari 935 (tanggal 12 krsnapaksa bulan Posya)
  • PA PA SO (Paniron Pahing Soma) yang jatuh tanggal 5 Januari 935 (tanggal 13 krsnapaksa bulan Posya)
  • WA PO ANG (Was Pon Anggara) yang jatuh tanggal 6 Januari 935 (tanggal 14 krsnapaksa bulan Posya)
  • MA WA BU (Mawulu Wagai Budha) yang jatuh tanggal 7 Januari 935 (tanggal 15 krsnapaksa bulan Posya)

Selebihnya, yaitu 3 hari sudah masuk dalam wuku berikutnya, yaitu wuku ‘Kurantil’.

  • TU KA WRE (Tunglai Kaliwuan Wrehaspati) yang jatuh tanggal 8 Januari 935 (tanggal 1 suklapaksa bulan Magha)
  • HA U SU (Haryang Umanis Sukra) yang jatuh tanggal 9 Januari 935 (tanggal 2 suklapaksa bulan Magha)
  • WU PA SA (Wurukung Pahing Sanaiscara) yang jatuh tanggal 10 Januari 935 (tanggal 3 suklapaksa bulan Magha)

dengan demikian penetapan prasasti Kanuruhan oleh Damais disebut antara tanggal 4 s.d 7 Januari 935 M, atau antara hari Minggu s.d Rabu wuku Wukir.

b. Penetapan Hari Jadi Desa Bunul

Dari data prasasti dapat ditemukan sebuah data penanggalan walaupun tidak lengkap, yaitu tahun 856 saka bulan Posya wuku Wukir. Damais dalam daftar penanggalan prasasti-prasasti kuna di Indonesia, menetapkan bahwa wuku Wukir bulan Posya tahun 856 saka diketahui memilikii 4 hari dan pasaran, yaitu dimulai pada tanggal: 12 krsnapaksa Posya 856 saka hari Wurukung Minggu Legi (4 Januari 935M); 13 krsnapaksa Posya 856 saka hari Paniruan Senin Pahing (5 Januari 935 M); 14 krsnapaksa Posya 856 saka hari Was Selasa Pon (6 Januari 935 M); dan 15 krsnapaksa Posya 856 saka hari Mawulu Rabu Wage (7 Januari 935 M) (Damais, 1955). Dengan demikian tanggal penetapan diresmikannya prasasti secara yuridis formal adalah tanggal-tanggal tersebut.

Dalam perkembangannya, ilmu arkeologi memiliki sebuah ilmu bantu, yaitu Astronomi. Menurut perhitungan atas dasar ‘astroarkeologi’ yang dilakukan oleh  Trigangga dari Museum Nasional Jakarta bahwa waktu diresmikannya prasasti Kanuruhan tersebut adalah sebagai berikut:

Bunul-05


MOON

Magnitude: -8.20
Diameter: 32.4 ‘
Illuminated fraction: 0.179
Phase: 230 °
Distance: 369209.9 km
Position angle: 14.1
Libration in latitude: -3.46
Libration in longitude: -8.08
Sun inclination: 1.54
Ephemeris: plan404

Date: 935-01-04 12h00m00s
Coordinates: Apparent 935.0 Topocentric
RA: 15h44m11.66s DE:-17°07’56.6″
Apparent RA: 15h44m11.70s DE:-17°07’56.7″
Mean of the date RA: 15h44m11.70s DE:-17°07’56.7″
Mean J2000 RA: 16h45m44.71s DE:-19°45’31.0″
Ecliptic L: +237°42’13” B:+02°41’54”
Galactic L: +359°46’43” B:+16°24’41”
Visibility for your observatory:
Malang 935-01-04 12h00m00s ( JMT )
Universal Time: 935-01-04T04:52:48 JD=2062569.70333
Local sidereal time:19h35m24s
Hour angle: 03h51m 12s
Azimuth:+254°42′ 44″
Altitude:+33°03′ 48″
Rise: 1h58m Azimuth+107°23′
Culmination: 8h09m +80°51′
Set: 14h21m Azimuth+252°37′

Dari hasil perhitungan Trigangga berdasarkan astroarkeologi, prasasti diresmikan pada hari WU U A (Wurukung Umanis Aditya) tanggal 12 krsnapaksa  tula Rasi tabeh 4  bulan Posya tahun 856 saka, atau pada hari Ahad Legi, 4 Januari 935 M jam 12.00 wib.

Diasumsikan bahwa prasasti Kanuruhan tersebut dikeluarkan/diresmikan pada tanggal 4 Januari 935 M pada pukul 12:00 (kebanyakan prasasti-prasasti memang dikeluarkan pada waktu terang antara pukul 6:00 pagi hingga 18:00 sore). Maka posisi Bulan pada saat prasasti dikeluarkan yaitu berada di rasi Libra / Tula (system 12 rasi), atau rasi Ophiuchus (system 13 rasi). Dalam prasasti-prasasti, unsur pertanggalan rasi merujuk ke posisi Bulan, bukan Matahari. Dengan demikian dapat ditetapkan bahwa secara lengkap penanggalan pada prasasti Kanuruhan tersebut adalah : Tahun 856 saka bulan Posya wuku Wukir hari pasaran Wu U A atau Wurukung Umanis Aditya tanggal 12 krsnapaksa perbintangan Tularasi tabeh 4 siang. Equivalent dengan tanggal 4 Januari 935 M hari Minggu Legi pukul 12.00. Saat itulah secara yuridis formal dimulainya nama desa Bulul. Dalam tata bahasa Jawa, konsonan ‘L‘ pada kata Bulul dalam pengucapan bertukar dengan konsonan ‘N’. Misal kata Melur menjadi Menur, Pulen menjadi Punel, Panawijen menjadi Palawijen, dan sebagainya. Demikianlah pada akhirnya kata Bulul diucapkan Bunul.


Kesimpulan

Dari hasil paparan di atas dapat disimpulkan bahwa: 1) Kata Bulul berasal dari
nama seorang pemuda Jawa Kuna yang hidup pada kurun abad X M dan bertempat tinggal di sebuah desa ( diduga bernama wanua/desa Kajatan) wilayah kerakaian Kanuruhan (sekarang Kota Malang). 2) Pemuda tersebut memiliki kelebihan dari pemuda desa lainnya, yang mencolok adalah perhatian serta kepeduliannya terhadap lingkungan serta sikap patriotisnya yang tinggi. Oleh karena sifat-sifat itulah raja Sindok melalui Rakryan Kanuruhan Dyah Mungpang, memberikan anugerah kepadanya berupa tanah perdikan desa Kajatan, dengan ditandai peresmian pada prasasti batu yang berbentuk arca Ganesya.  3) Peresmian dilakukan pada hari Minggu, 4 Januari 935 M. yang secara formal sejak tanggal tersebut desa Kajatan berubah menjadi desa Bulul. Pengucapan yang sering bertukar konsonan, akhirnya diucapkan sebagai desa Bunul hingga sekarang.


Saran

  1. Situs telaga itu sekarang tidak berbekas, karena di atasnya sudah didirikan bangunan gereja Kristen. Setidaknya untuk mengingat kejadian masa lampau. Ada baiknya apabila di area gereja tersebut dipasang papan keterangan yang dibuat oleh Disbudpar Kota Malang bahwa di tempat itu terdapat situs telaga tinggalan abad X M. Dengan papan keterangan tersebut masyarakat akan mengetahui asal-usul sejarah desanya.
  2. Pihak pemerintah kelurahan atau Disbudpar Kota Malang membuat brosur semacam liflet yang disebarkan ke semua lapisan masyarakat, efektifnya kepada lembaga sekolah yang ada di lingkungan Kelurahan Bunulrejo. Dengan liflet tersebut melalui lembaga sekolah, jajaran guru dan siswa akan mengetahui dan memahami terhadap makna dan arti pentingnya Sejarah Lokal. Karena sementara ini guru dan siswa hanya berkubang pada kitaran Sejarah Nasional saja.


Daftar Pustaka:

Boechari, M. dan Wibowo, A.S. 1985/1986.  Prasasti Koleksi Museum Nasional, volume 1. Jakarta: Proyek Pengembangan Museum Nasional.

Brandes, J.L.A. 1913. Oud-Javaansche Oorkonde, nagelaten transcripties van wijlen  Dr. J.L.A. Brandes, uitgegeven door N.J. Krom. VBG, LX. Batavia : Albrecht&Co’s – Gravenhage: Martinus Nijhoff.

Damais, Louis Charles. 1955. Bulletin de L’ecole Francaise. D’extreme Orient. Saigon: Ecole Francaise D’extreme Orient.

Trigangga, 2011. Hasil Konfirmasi Penanggalan Prasasti Kanuruhan Berdasar Astroarkeologi.

Mardiwarsito, L. 1986. Kamus Jawa kuna-Indonesia. Ende-Flores: Nusa Indah.

Nastiti, Titi Surti, dkk. 1982. Tiga Prasasti dari Masa Balitung. Jakarta: Proyek Penelitian Purbakala Departemen P dan K.

Nastiti, Titi Surti. 2007. Prasasti Sobhamrta. Jakarta: Puslitbang Arkenas. DepBudPar.

Notosusanto, Nugroho. 1976. Masalah Penulisan Sejarah Kontemporer: Suatu Pengalaman. Jakarta: Yayasan Idayu.

Poerwadarminta, WJS. tanpa tahun. Katrangan Tegesing Temboeng-Temboeng. Groningen-Batavia: JB. Wolters.

Sedyawati, Edi. 1994. Pengarcaan Gańeśa Masa Kadiri dan Siŋhasāri. Sebuah Tinjuan Sejarah Kesenian. Jakarta: LIPI-RUL.

Soedjono, Soesabdo Marmo. 1981. Pemerintahan Desa (UU No.5 tahun 1979). Jakarta: Bina Aksara.

Stutteirheim, W.F. 1940. Koning Teguh op Een Oorkonde. Tijdschrift voor Indische Taal-Land-en Volkenkunde. Uitgegeven door het Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. LXXX:345-366. Batavia: Albrecht&Co.

Sumadio, Bambang, 1984. Jaman Kuna. Dalam Marwati Pusponegoro dan Nugroho Notosusanto, ed. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka.

Sumadio, Bambang et al., ed. 2009. Zaman Kuna (edisi pemutakhiran). Marwati Pusponegoro dan Nugroho Notosusanto, ed. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka

Suwardono dan Rusmiayah. 1996. Monografi Sejarah Kota Malang. Malang: Sigma Media.

Zoetmulder, P. J. dan Robson, BD. 2004. Kamus Jawa kuna Indonesia. Jakarta: Gramedia.


Daftar Informan

Bunul-06

PenulisSuwardono, Guru Sejarah SMA Negeri 7,
Jl. Cengger Ayam I No.14 Malang, Purbakalawan Jawa Timur bidang klasik (masa Hindu-Buddha) spesialisasi epigrafi.

Sumber :

Sejarah Desa Bunulrejo Kota Malang Berdasarkan Tinjauan Prasasti Kanuruhan

 

About Administrator Website

Check Also

Semarak Hari batik Nasional 2020, Kampung KB Mbois Launching Kampung Edukasi Batik RW 10 Bunulrejo, Pusat Batik Tulis Malang Motif Tirto Telogo

#MboisPeople [Kampung Edukasi Batik RW 10 Bunulrejo]www.kampungkbmbois.comPusat Sentra Batik Tulis Malang—-Kampung KB Mbois Bunulrejo merupakan …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.